SEJARAH
DAKWAH SUNAN KALI JAGA
A.
Kehidupan Sunan Kali Jaga
Sunan Kalijaga
adalah gelar yang diberikan kepada Raden Mas Syahid, beliau putra dari
Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Tumenggung Wilatikta adalah keturunan
Ranggalawe yang sudah beragama Islam dan berganti nama Raden Sahur. Ibunya
bernama Dewi Nawangrum dan Raden Sahid ini menikah dengan Dewi Sarah binti
Maulana Ishak dan berputra tiga orang yaitu: Raden Umar Said atau Sunan Muria,
Dewi Rukoyah dan Dewi Sofiah. Beliau lahir dari kalangan keluarga bangsawan
asli di Istana Tumenggung Ario Tejo alias Adipati Wilwatikto di Tuban, ia di
didik dalam bidang pemerintahan dan kemiliteran, khususnya di bidang Angkatan laut,
ia juga ahli dibidang pembutan kapal laut yang dibuat dari kayu jati, yang nama
mudanya atau nama kecil adalah Raden Mas Syahid atau Jaka said. Raden Sahid
sewaktu kecil sudah mempunyai rasa solidaritas yang tinggi pada kawan-kawannya,
ia bahkan tak segan-segan masuk dan bergaul kedalam lingkungan rakyat jelata.
Ketika itulah ia tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang miskin
pedesaan. Maka pada waktu malam-malam, ia sering mengambili sumber bahan
makanan dari gudang Kadipaten dan memberikannya kepada rakyat-rakyat miskin.
Lama-lama tindakan
Raden Sahid itu diketahui oleh ayahnya, maka ia mendapatkan hukuman yang keras,
yakni diusir dari istana. Ia akhirnya mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dan
kemudia ia menetap di hutan Jatiwangi. Dihutan itu ia meneruskan pekerjaannya
sebagai berandal. Ia merampok orang-orang kaya yang pelit kepada rakyat kecil.
Hasil rapokannya diberikan kepada rakyat-rakyat miskin.
Dalam babad Cerbon
naskah Nr.36 koleksi Brandes, dijumpai keterangan bahwa ayahanda Sunan kalijaga
bernama Arya Sidik dijuluki Arya Ing Tuban, Arya Sadik dipastikan merupakan
perubahan dari nama Arya Sidik, dan nama ini merupakan nama asli dari Ayahanda
Sunan kalijaga yang menurut Babad Tuban bukan seorang pribumi Jawa, melainkan
berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang Ulama.
Tahun kelahiran
serta wafat Sunan Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya diperkirakan ia
mencapai Usia lanjut. Diperkirakan ia lahir kurang lebih 1450 M berdasarkan
atas suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga kawin dengan putri Sunan
Ampel pada usia kurang lebih 20 tahun, yakni tahun 1470. Sedangkan Sunan Ampel
lahir pada tahun 1401 dan mempunyai anak wanita yang dikawini oleh sunan
kalijaga itu pada waktu ia berusia 50 tahun. Masa hidupnya menglami 3 masa
pemerintahan yaitu: masa akhir Majapahit, Zaman Kesultanan Demak dan Kesultanan
Pajang. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M, kemudian disusul
Kesultanan Demak berdiri pada tahun 1481 sampai 1546 M, dan disusul pula
Kesultanan Pajang yang diperkirakan berakhir pada tahun 1568 M. Diperkirakan,
pada tahun 1580 M Sunan Kalijaga wafat hal ini dapat dihubungkan dengan gelar
kepala Perdikan Kadilangu semula adalah sunan Hadi, tetapi pada mas Jolang di
Mataram(1601-1603), gelar itu diganti dengan sebutan Panembahan Hadi.
Dengan demikian, Sunan Kalijaga sudah diganti
putranya sebagai kepala Perdikan kadilangu sebelum zaman Mas Jolang yaitu sejak
berdirinya kesultanan Mataram pemerintahan Panembahan Senopati atau sutawijaya(1673-1601).
Dan pada awal pemerintahan Mataram, menurut Babad Tanah jawi versi Meisma,
dinyatakan Sunan kalijaga pernah datang ketempat kediaman Panembahan Senopati
di Mataram memberikan saran bagaimana cara membangun kota. Dengan demikian
Sunan Kalijaga diperkirakan hidup lebih dari 100 tahun lamanya yakni sejak
pertengahan Abad ke-15 sampai dengan akhir Abad ke-16. Tentang asal-usul
keturunannya, ada beberapa pendapat, ada yang menyatakan keturunan Arab asli,
yang lain menyatakan keturunan Cina dan ada pula yang mengatakan keturunan Jawa
asli. Masing-masing pendapat mempunyai sumber yang berbeda.
B. Masa Remaja Sunan Kali Jaga Dan Jasa-Jasa Sunan Kali Jaga
B. Masa Remaja Sunan Kali Jaga Dan Jasa-Jasa Sunan Kali Jaga
Kisah masa muda
Raden Sahid ini paling tidak ada Dua Versi, yaitu Versi pertama ialah yang menganggap
pada dasarnya walaupun raden Sahid suka mencuri dan merampok tapi bukan untuk
dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagikan kepada rakyat jelata. Sedangkan
Versi yang kedua adalah yang benar-benar melihat bahwa masa muda Raden Sahid
adalah benar-benar perampok dan pembunuh yang jahat.
Menurut Versi
pertama lengkapnya adalah demikian, bahwasannya pada waktu masih kecil Raden
Sahid sudah disuruh mempelajari agama islam oleh ayahnya di Tuban, akan tetapi
karena ia melihat kondisi lingkungan yang kontradiksi dengan ajaran agama itu,
maka jiwa Raden Sahid memberontak. Ia melihat rakyat jelata yang hidupnya
sengsara, sementara bangsawan Tuban berfoya-foya hidupnya. Pejabat Kadipaten
manarik upeti kepada rakyat miskin dengan semena-mena, pada prajurit kadipaten
sewenang-wenang menghardik rakyat kecil. Oleh karena itu, Raden Syahid sangat
gelisah hatinya.
Sedangkan Versi kedua melihat bahwa Raden
Syahid merupakan orang yang nakal sejak kecil dan kemudian berkembang menjadi
penjahat yang sadis. Ia suka merampok dan membunuh tanpa segan dan ia berjudi
kemana-mana. Setiap habis Botohnya ia merampok kepada penduduk. Selain itu
digambarkan Raden Sahid adalah orang yang sangat sakti, karena saktinya
sehingga beliau mendapat julukan berandal Lokajaya.
Tentang kisah putra Ki Tumenggung Wilatikta
yang bernama Raden Sahid yang gemar berjudi dan melakukan kejahatan, bermain
dadu, kartu, dan taruhan. Ia juga suka menyambung ayam dan mengembara sampai ke
Jepara. Kalau kalah main, ia pun menyamun, Raden Shayid menghadang orang yang
lewat dijalan dihutan yang disebut Jati Sekar sebelah timur laut Lasem.
Tersebutlah Sunan Bonang sedang berjalan kaki dari Malang melewati hutan Jati
Sekae dan berjumpa dengan Jaka Syaid. Sunan Bonang pun menegur dengan halus,
“siapakah kau ini? Mengapa menghadang orang lewat?” dengan keras Raden Syaid
menjawab, “aku sedang bekerja, pekerjaan ku ialah menyamun.” Sunan Bonang
berkata lembut, “ tunggu besok pagi. Kalau ada yang lewat disini mengenakan
pakaian hitam dengan sumping bunga wora-wari merah di telinganya, samunlah
dia.”
Jaka Syahid pun menuruti Sunan Bonang.
Setelah tiga malam, raden Syahid menghadang di jalan , Sunan Bonang yang sudah
berbusana serba hitam dan bersumpingkan bunga wora-wari merah berjalan melewati
tempat Jaga Syahid berdiri mengahadang. Ia segera menghadang, Jaka Said pun
menghalangi Sunan Bonang yang sedang lewat itu dari segala penjuru. Sunan
Bonang pun berubah menjadi empat orang. Jaka Syahid melihat ke arah utara,
timur, selatan, dan barat, dimanapun tampak olehnya Sunan Bonang. Segera ia
duduk dan dengan takjim menghormat, menyatakan sudah bertobat.
Sunan Bonang berkata lembut,” Jika kau
benar-benar menurut kepadaku, bergurulah dengan sungguh-sungguh, patuhilah
kata-kataku. Ini tombak pendekku dan jagalah baik-baik. Jangan pergi dari
tempat ini sama sekali.” Raden Syahid menyanggupinya sambil menghormat takjim,
lalu Sunan Bonang pergi meninggalkannya. Raden Syahid tetap memegang tombak
kecil itu.
Sesudah satu tahun berlalu, datanglah Sunan
bonang kesana, menengok Raden Syahid namun tempatnya kini sudah berubah menjadi
hutan belukar. Sunan Bonang mengucapkan sesuatu, dan dalam sekejap musnahlah
hutan itu, sehingga tampaklah sang Raden masih tetap disana. Yang terlihat
hanya degup jantung didadanya. Ia ditinggalkan saja oleh Sunan Bonang selam
satu tahun lagi. Raden Syahid bertapa selama dua tahun disana. Oleh sunan ia
disuruh pergi dari situ dan dibekalinya dengan ilmu dan cara-cara berbakti
kepada Allah SWT.
Selanjutnya
Sang Raden menjalankan tapa dengan mengasingkan diri di tempat sunyi satu tahun
lamanya. Selesai menjalankan tapa itu Raden Syahid pergi ke arah Barat menuju
Cirebon, disana ia bermukim di tempat yang sepi, dan selanjutnya ia disebut Kalijaga.
Ia punya dua sahabat dan semakin kuat bertapa. Malam hari ia jaga di tepi
sungai, kalau mengantuk ia terjun ke air menghanyutkan diri mengikuti arus,
dengan memegangi api dari seludang kelapa kering. Berkat kekuatan tapanya, api
yang terbenam di air tidak padam. Ia pun berhenti menghanyutkan dirinya. Rden
Syahid kini menjadi sakti dan dikenal sebagai Kalijaga. Ketika berada di
Cirebon ia menyamar dan bekerja sebagai Merbot, pekerjaannya ialah menimba dan
menagambil air, mengisi bak air yang kosong. Setiap kali airnya habis, segera
dipenuhinya lagi olehnya, sehingga orang menyangka ia benar-benar seorang
merbot. Tersebutlah pada waktu itu Sunan dari Gunung Jati, yang memerintah yang
dari Cirebon, memperhatikan cara Kimerbot mengambil air.
Timbullah rasa
belas kasihan dalam hati Sunan menyaksikan Merbotnya. Ketika malam tiba bak air
itu dikeringkannya, lalu diisinya dengan mas. Pagi-pagi sekali Sunan Kalijaga
bangun, segera pergi mengambil air. Seusai menimba tutup bak air itu dibukanya,
dilihatnya bak itu penuh berisi mas. Sunan Kalijaga dapat menangkap maksudnya,
dan cepat-cepat ia menjadikan mas itu sebagai alas bak air. Bak itu sudah penuh
air ketika Sunan gunung Jati bergegas menjalankan Sholat Subuh ketika berwudhu
dilihatnya alas bak air itu berupa mas, sehingga Sunan gunung Jati tidak ragu
lagi bahwa ternyata Sunan Kalijaga telah menyamar sebagai Merbot. Ia kemudian
menjadi ipar, dikawinkan dengan adik kandung Sunan Gunung Jati.
Sewaktu masih usia muda, Raden Sahid yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga itu tergolong muda yang
cerdas, terampil, pemberani dan berjiwa besar, usia mudanya tidak disia-siakan
begitu saja, tetapi benar-benar dipergunakan untuk membesarkan dirinya meskipun
tanpa bekal dari kedua orangtuanya. Beliau selalu berburu ilu kepada para
sesepuh, seperti kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan bahkan dari timur terus
lari kebarat berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah Cerebon. Ilmu-ilmu yang
diambil dari Gurunya diantara lain ialah ilmu hakekat, ilmu Syariah, ilmu
Kanuragan, ilmu filsafat, ilmu kesenian dan lain sebagainya. Sehingga beliau
dikenal masyarakat pada saat itu sebagai seoarang ahli tauhid, yang mahir dalam
ilmu syariat dan mampu menguasai ilmu srtategi perjuangan juga seorang
Filosofi. Bahkan ahli pula dibidang sastra sehingga terkenal juga sebagai
seorang pujangga, karena syair-ayairnya yang indah terutama syair-syair jawa.
Lantaran ilmu-ilmu dan kemampuan pribadi yang
dimiliki itu, akhirnya sunan kalijaga teramasuk salah satu seorang anggota
kelompoK “WaliSanga” atau “Wali Sembilan” yang bergerak dibawah pengaturan
kekuasaan Sultan Patah di Demak, belia ditugaskan oleh kelompok Wali Sanga ini
untuk menggarap masyarakat didaerah-daerah pedalaman yang kondisinya yang
sangat rawan, karena perilaku kehidupan mereka yang sangat tidak terpuji,
misalnya didaerah yang sering terjadi pencurian dan pembunuhan, didaerah
masyarakatnya suka berjudi, meminum minuman keras dan lain sebagainya.
C. Proses masuknya sunan kali jaga menjadi wali songo
C. Proses masuknya sunan kali jaga menjadi wali songo
Menurut sumber naskah Sejarah yang
manapun Sunan Kalijaga disebut sebagai salah satu Waliyullah yang terasuk dalam
Walisanga. Kedudukannya sebagai seorang Wali, menurut Babad Majapahit dan para
Wali, dikukuhkan dihadapan Sunan Giri yang dianggap sebagai ketua para Wali di
Jawa. Dengan demikian, penetapan sebagai Wali itu sesuai dengan ramalan semula
semenjak Sunan Bonang di utus oleh ayahnya, Sunan Ampel Denta untuk mencari dan
mempertobatkan Sunan Kalijaga sebagai upaya mempercepat proses kearah kedudukannya
sebagai wali.
Sebagai Waliyullah, sebagaimana
pengertian Waliyullah adalah” kekasih Allah”. Oleh karena itu, sebagaimana
lazimnya para Wali, Sunan Kalijaga memiliki” Karamah” pemberian dari Allah
berupa keunggulan lahir dan batin yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang
orang. Disamping itu, sebagai tanda kewalian, ia bergelar” Sunan” sebagaimana
Wali-wali yang lain. Menurut salah satu penafsiran, kata “Sunnat” yang berarti
tingkah laku, Adat kebiasaan. Adapaun tingkah laku yang dimaksud adalah yang
serba baik, sopan santun, budi luhur, hidup yang serba kebajikan menurut
tuntunan Agama Islam. Oleh karena itu, seorang Sunan akan senantiasa
menampilkan perilaku yang serba berkebajikan sesuai dengan tugas mereka
berdakwah, Beramar Ma’ruf Nahi Munkar, memerintah atau mengajak kearah kebaikan
dan melarang perbuatan Munkar.
Peran
Sunan kalijaga dalam berdakwah tampak dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan
Agama secara langsung ataupun dalam pemerintahan dan kegiatan seni, budaya pada
umumnya, diantara kasus kegiatan yang berkenaan dengan keagamaan, sebagaimana
banyak disebut dalam naskah Babad, adalah kegiatan Sunan Kalijaga bersama-sama
Wali yang lain mendirikan Masjid Agung Demak. Sudah jelas bahwa fungsi masjid
disamping menjadi sarana Peribadatan juga dipakai sebagai pusat kegiatan Dakwah
ketika itu sehingga perlu adanya, kendati pun sulit untuk menentukan secara
pasti kapan masjid tersebut didirikan.
Masjid Agung Demak yang terkenal,
tidak saja karena ini dibangun oleh Wali, tetapi karena salah satu Saka gurunya
terdiri dari serpihan kayu-kayu Tatal karya dari sunan Kalijaga yang dikenal
dengan sebutan” Soko Tatal”. Keikutsertaan Sunan Kalijaga tidak hanya
mengupayakan bahan-bahannya saja, tetapi juga ikut bermusyawarah sebelumnya.
Dituturkan dalam salah satu sumber bahwa
pembangunan Masjid Demak berjalan lancar, masing-masing Wali mendapatkan tugas
membawa empat tiang besar, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
kalijaga, Sunan Kudus, Sunan purwaganda, Sunan Gunung Jati, Pangeran Palembang
dan Syekh Siti Jenar. Hanya Sunan Kalijaga sendirilah yang membawa tiga buah.
Jumlah semuanya 83 kurang 1, tatkala semuanya sudah siap dan waktu mendirikan
asjid tinggal satu hari, sementara Saka Guru kurang satu, maka Sunan Bonang
menanyakan kepada Sunan kalijaga akan tugasnya menyiapkan tiang Saka Guru itu.
Sunan Kalijaga menyanggupinya, malam-malam menunggui orang mengapak kulit
bagian luar, disusun, dilekatkan dengan lem Damar, Kemenyan, Blendok, Trembalok
lantas dibalut. Jadilah sebuah tiang dari Tatal.
Adanya Soko Tatal ini adalah suatu
kesengajaan, sebagai lambang kerohanian, bahwa pembuatan Soko Tatal sebagai
lambang kerukunan dan kesatuan. Konon sewaktu mendirikan Masjid Agung Demak
masyarakat Islam ditimpa perpecahan antar Golongan, bahkan dalam bekerja
mendirikan Masjid itu pun terjadi perselisihan-perselisihan berbagai masalah
sepele dan kecil. Suna Kalijaga mendapat ilham, suatu petunjuk dari Tuhan dan
disusunlah Tatal-tatal menjadi sebuah tiang yang kokoh.
Kasus lain juga bersamaan para wali yang
lain adalah upaya memberantas ajaran aqidah yang tidak benar ataupun sesat
yakni, ajaran phanteisme yang disebarkan oleh salah seorang yang sebenarnya
semula termasuk dalam kelompok Wali yaitu Syekh Siti Jenar. Dalam serat
kandaning ringgit purwa maupun babad tanah jawi dituturkan bahwa Syekh Siti
Jenar dihukum mati dihadapan sidang pengadilan para wali, termasuk Sunan
Kalijaga. Hukum itu dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar oleh karena pengakuannya
bahwa dirinya adalah Allah. Ajaran
tentang ketuhanan yang bersifat phanteisme dipandang sangat membahayakan karena
mengakibatkan masyarakat Islam ketika itu meninggalkan syara. Paham itu disebut
juga paham Wahdatul wujud manunggaling kawula Gusti.
Dengan kasus hukumam mati terhadap
Syekh Siti Jenar tersebut, Sunan kalijaga bersama wali lainnya tidak kompromi
dengan keyakinan yang memang sangat membahayakan, meskipun pendekatan yang
dipakai para wali dalam berdakwah juga dengan menggunakan pendekatan sufistik,
tetapi sufisme yang dianut oleh Kalijaga bukanlah sufisme yang beraliran
phanteisme, tetapi sufisme yang tetap menganut Aqidah Ahlussunnah Waljamaah.
Sebenarnya pandangan Sunan Kalijaga
jika dibandingkan dengan pandangan Sunan Ampel maupun Sunan Giri terhadap
tersisa-sisa keyakinan agama lama itu lebih toleran, dalam arti tidak mau
memberantasnya seketika. Sunan Kalijaga berpendirian, bahwa rakyat akan lari
begitu dihantam dan diserang oleh pendiriannya. Dakwah harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat jangan terus diberantas, tetapi
hendaknya dipelihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan. Adapun cara
merubahnya adalah sedikit demi sedikit, memberi warna yang baru kepada yang
lama, mengikuti sambil mempengaruhi yang nanti diharapkan bila rakyat telah
mengerti dan paham akan agama akhirnya mereka akan membuang sendiri mana yang
tidak perlu dan merombak atau menghilangkan sendiri mana yang tidak sesuai
dengan agama. Para wali sebaiknya bertindak mengikuti dari belakang sambil
mempengaruhi atau mengikuti kebudayaan lama sambil mengisi jiwa islam.
Sikap seperti itu terlihat pada
berbagai karyanya yang kalu dilihat dari kaca mata kebudayaan cenderung
mengarah pada akulturasi antara kebudayaan lama dengan kebudayaan yang baru,
hasil kreasinya kearah yang lebih islami. Sementara itu, kalau dilihat dari
segi aqidah Sunan Kalijaga cenderung pada sinkretisme. Sebagai contoh pendirian
seperti itu tampak salah satunya pada penciptaan lambang gambar bulus di Mihrab
Masjid Agung Demak yang bisa dipandang sebagai hasil karyanya, sebagaimana ide
pembuatan soko tatal. Bulus adalah binatang yang hidup di dua alam di daratan
dan di air, dan menurut masyarakat Islam hukumnya haram, tetapi mengapa
ditempatkan pada mihrab Masjid yang justru tempat suci bagi orang islam.
Ternyata itu juga merupakan suatu bentuk kebijaksanaan berdakwah ketika itu
dimana pemeluk agama lama diingatkan bahwa didalam Masjid juga ada suatu
lambang kesucian dan keabadian, sebagaimana kepercayaan agama lama (budha) memandang
bulus sebagai binatang suci. Hanya saja kesucian dan keabadian dalam islam
diperoleh dengan cara melaksanakan shalat berbakti kepada Allah yang Maha Esa,
biar hidup abadi di alam Baqa nanti dengan bahagia.Dalam media dakwah yang lain
juga tampak sikap Sunan Kalijaga yang demikian itu, baik dalam penciptaan, seni
pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan , termasuk juga kesenian wayang.
Bahkan terhadap kesenian wayang ini Sunan Kalijaga dipandamg sebagai tokoh yang
telah menghasilkan kreasi baru, yaitu dengan adanya wayang kulit dengan segala
perangkan gamelannya. Wayang kulit ini merupakan pengembangan baru dari Wayang
Beber yang memang sudah ada sejak Zaman Erlangga. Di antara Wayang ciptaan
Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah Wayang punah kawan
pandawa yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong
D. Metode dakwah sunan kali jaga
D. Metode dakwah sunan kali jaga
Cara-cara atau jalan yang ditepuh
oleh Sunan Kalijaga khususnya dalam menyampaikan Ajaran Islam kepada rakyat
ditanah Jawa Antara lain ialah:
·
Ajaran
Agama Islam itu diperkenalkan kepada rakyat dengan cara menyampaikan sedikiti demi sedikit agar mereka tidak
kaget atau tidak menolak. Dihindarkan cara-
cara yang dapat menyinggung perasaan atau jiwa mereka yang sudah lama
menganut kepercayaan-kepercayaan agama Hindu, Budha dan lainnya.
·
Apabila
memungkinkan ajaran-ajaran Agama Islam itu dikawinkan dengan kepercayaan Agama Hindu dan Budha, sehingga
rakyat tidak terasa bahwa dirinya telah merubah kepercayaan lamanya atau dengan
Ajaran agama Islam.
·
Adat-istiadat
atau kebudayaan yang selama ini mereka hidupakan sesuai dengan ajaran Agama
Hindu, Budha atau kepercayaan nenek moyang yang ditingalkan kepada mereka, lalu oleh para Wali Sanga khususnya
Sunan Kalijaga Adat-istiadat atau kebudayaan itu secara pelan-pelan diganti
dengan bentuk upacara-upacara Tradisional yang berbau ajaran Islam. Jadi para
Wali( Sunan kalijaga) tidak begitu saja memberantas adat Istiadat mereka dengan
cara kasar yang dapat menimbulkan sikap Antipati terhadap ajaran Agama Islam.
E. Sikap masyarakat terhadap metode dakwah sunan kali jaga
E. Sikap masyarakat terhadap metode dakwah sunan kali jaga
Sikap masyarakat
terhadap Sunan Kalijaga ialah sangat baik dan sedikit demi sedikit mau menerima
Ajaran Agama Islam, karena Sunan Kalijaga dalam Menyebarkan ajaran Agama Islam
benar-benar memahami dan mengetahui keadaan Rakyat yang masih Kental
terpengaruh kepercayaan Agama Hindu-Budha itu maka bertindaklah beliau sesuai
dengan keadaan itu, sehingga taktik dan strategi dakwah perjuangan
mengislamisasikan Nusantara itu disesuaikan pula dengan keadaan ruang dan
waktu.
Sunan Kalijaga
dikenal sebagai Ulama besar dan seorang Wali yang memiliki kharisma tersendiri
diantara Wali-wali lainnya dan paling terkenal dikalangan atas maupun
dikalangan bawah, hal ini disebabkan karena Sunan Kalijaga berkeliling dalam
berdakwah, sehingga beliau dikenal sebagai Syekh Malaya, yaitu Mubaligh yang
menyiarkan Agama Islam sambil mengembara.
Caranya berdakwah
sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak kepercayaan lama
tidak ditentang Adat istiadatnya, beliau
mendekati rakyat yang masih Awam itu dengan cara halus, bahkan dalam
berpakaian beliau tidak memakai Jubah sehingga masyarakat tidak merasa angker
dan mau menerima dengan senang hati. Diantara anggota dewan Wali, Sunan Kalijaga
merupakan Wali yang paling populer dimata masyarakat Jawa bahkan sebagian
masyarakat Jawa menganggap sebagai Guru Agung dan Suci di Tanah Jawa.