Selasa, 19 Juni 2012

meliputi sunan kali jaga



SEJARAH DAKWAH SUNAN KALI JAGA

A.    Kehidupan Sunan Kali Jaga
          Sunan Kalijaga adalah gelar yang diberikan kepada Raden Mas Syahid, beliau putra dari Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Tumenggung Wilatikta adalah keturunan Ranggalawe yang sudah beragama Islam dan berganti nama Raden Sahur. Ibunya bernama Dewi Nawangrum dan Raden Sahid ini menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak dan berputra tiga orang yaitu: Raden Umar Said atau Sunan Muria, Dewi Rukoyah dan Dewi Sofiah. Beliau lahir dari kalangan keluarga bangsawan asli di Istana Tumenggung Ario Tejo alias Adipati Wilwatikto di Tuban, ia di didik dalam bidang pemerintahan dan kemiliteran, khususnya di bidang Angkatan laut, ia juga ahli dibidang pembutan kapal laut yang dibuat dari kayu jati, yang nama mudanya atau nama kecil adalah Raden Mas Syahid atau Jaka said. Raden Sahid sewaktu kecil sudah mempunyai rasa solidaritas yang tinggi pada kawan-kawannya, ia bahkan tak segan-segan masuk dan bergaul kedalam lingkungan rakyat jelata. Ketika itulah ia tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang miskin pedesaan. Maka pada waktu malam-malam, ia sering mengambili sumber bahan makanan dari gudang Kadipaten dan memberikannya kepada rakyat-rakyat miskin.
          Lama-lama tindakan Raden Sahid itu diketahui oleh ayahnya, maka ia mendapatkan hukuman yang keras, yakni diusir dari istana. Ia akhirnya mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dan kemudia ia menetap di hutan Jatiwangi. Dihutan itu ia meneruskan pekerjaannya sebagai berandal. Ia merampok orang-orang kaya yang pelit kepada rakyat kecil. Hasil rapokannya diberikan kepada rakyat-rakyat miskin.
          Dalam babad Cerbon naskah Nr.36 koleksi Brandes, dijumpai keterangan bahwa ayahanda Sunan kalijaga bernama Arya Sidik dijuluki Arya Ing Tuban, Arya Sadik dipastikan merupakan perubahan dari nama Arya Sidik, dan nama ini merupakan nama asli dari Ayahanda Sunan kalijaga yang menurut Babad Tuban bukan seorang pribumi Jawa, melainkan berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan seorang Ulama.
          Tahun kelahiran serta wafat Sunan Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya diperkirakan ia mencapai Usia lanjut. Diperkirakan ia lahir kurang lebih 1450 M berdasarkan atas suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga kawin dengan putri Sunan Ampel pada usia kurang lebih 20 tahun, yakni tahun 1470. Sedangkan Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 dan mempunyai anak wanita yang dikawini oleh sunan kalijaga itu pada waktu ia berusia 50 tahun. Masa hidupnya menglami 3 masa pemerintahan yaitu: masa akhir Majapahit, Zaman Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M, kemudian disusul Kesultanan Demak berdiri pada tahun 1481 sampai 1546 M, dan disusul pula Kesultanan Pajang yang diperkirakan berakhir pada tahun 1568 M. Diperkirakan, pada tahun 1580 M Sunan Kalijaga wafat hal ini dapat dihubungkan dengan gelar kepala Perdikan Kadilangu semula adalah sunan Hadi, tetapi pada mas Jolang di Mataram(1601-1603), gelar itu diganti dengan sebutan Panembahan Hadi.
             Dengan demikian, Sunan Kalijaga sudah diganti putranya sebagai kepala Perdikan kadilangu sebelum zaman Mas Jolang yaitu sejak berdirinya kesultanan Mataram pemerintahan Panembahan Senopati atau sutawijaya(1673-1601). Dan pada awal pemerintahan Mataram, menurut Babad Tanah jawi versi Meisma, dinyatakan Sunan kalijaga pernah datang ketempat kediaman Panembahan Senopati di Mataram memberikan saran bagaimana cara membangun kota. Dengan demikian Sunan Kalijaga diperkirakan hidup lebih dari 100 tahun lamanya yakni sejak pertengahan Abad ke-15 sampai dengan akhir Abad ke-16. Tentang asal-usul keturunannya, ada beberapa pendapat, ada yang menyatakan keturunan Arab asli, yang lain menyatakan keturunan Cina dan ada pula yang mengatakan keturunan Jawa asli. Masing-masing pendapat mempunyai sumber yang berbeda. 

B.     Masa Remaja Sunan Kali Jaga Dan Jasa-Jasa Sunan Kali Jaga
            Kisah masa muda Raden Sahid ini paling tidak ada Dua Versi, yaitu Versi pertama ialah yang menganggap pada dasarnya walaupun raden Sahid suka mencuri dan merampok tapi bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagikan kepada rakyat jelata. Sedangkan Versi yang kedua adalah yang benar-benar melihat bahwa masa muda Raden Sahid adalah benar-benar perampok dan pembunuh yang jahat.
            Menurut Versi pertama lengkapnya adalah demikian, bahwasannya pada waktu masih kecil Raden Sahid sudah disuruh mempelajari agama islam oleh ayahnya di Tuban, akan tetapi karena ia melihat kondisi lingkungan yang kontradiksi dengan ajaran agama itu, maka jiwa Raden Sahid memberontak. Ia melihat rakyat jelata yang hidupnya sengsara, sementara bangsawan Tuban berfoya-foya hidupnya. Pejabat Kadipaten manarik upeti kepada rakyat miskin dengan semena-mena, pada prajurit kadipaten sewenang-wenang menghardik rakyat kecil. Oleh karena itu, Raden Syahid sangat gelisah hatinya.
            Sedangkan Versi kedua melihat bahwa Raden Syahid merupakan orang yang nakal sejak kecil dan kemudian berkembang menjadi penjahat yang sadis. Ia suka merampok dan membunuh tanpa segan dan ia berjudi kemana-mana. Setiap habis Botohnya ia merampok kepada penduduk. Selain itu digambarkan Raden Sahid adalah orang yang sangat sakti, karena saktinya sehingga beliau mendapat julukan berandal Lokajaya.
            Tentang kisah putra Ki Tumenggung Wilatikta yang bernama Raden Sahid yang gemar berjudi dan melakukan kejahatan, bermain dadu, kartu, dan taruhan. Ia juga suka menyambung ayam dan mengembara sampai ke Jepara. Kalau kalah main, ia pun menyamun, Raden Shayid menghadang orang yang lewat dijalan dihutan yang disebut Jati Sekar sebelah timur laut Lasem. Tersebutlah Sunan Bonang sedang berjalan kaki dari Malang melewati hutan Jati Sekae dan berjumpa dengan Jaka Syaid. Sunan Bonang pun menegur dengan halus, “siapakah kau ini? Mengapa menghadang orang lewat?” dengan keras Raden Syaid menjawab, “aku sedang bekerja, pekerjaan ku ialah menyamun.” Sunan Bonang berkata lembut, “ tunggu besok pagi. Kalau ada yang lewat disini mengenakan pakaian hitam dengan sumping bunga wora-wari merah di telinganya, samunlah dia.”
            Jaka Syahid pun menuruti Sunan Bonang. Setelah tiga malam, raden Syahid menghadang di jalan , Sunan Bonang yang sudah berbusana serba hitam dan bersumpingkan bunga wora-wari merah berjalan melewati tempat Jaga Syahid berdiri mengahadang. Ia segera menghadang, Jaka Said pun menghalangi Sunan Bonang yang sedang lewat itu dari segala penjuru. Sunan Bonang pun berubah menjadi empat orang. Jaka Syahid melihat ke arah utara, timur, selatan, dan barat, dimanapun tampak olehnya Sunan Bonang. Segera ia duduk dan dengan takjim menghormat, menyatakan sudah bertobat.
            Sunan Bonang berkata lembut,” Jika kau benar-benar menurut kepadaku, bergurulah dengan sungguh-sungguh, patuhilah kata-kataku. Ini tombak pendekku dan jagalah baik-baik. Jangan pergi dari tempat ini sama sekali.” Raden Syahid menyanggupinya sambil menghormat takjim, lalu Sunan Bonang pergi meninggalkannya. Raden Syahid tetap memegang tombak kecil itu.
           Sesudah satu tahun berlalu, datanglah Sunan bonang kesana, menengok Raden Syahid namun tempatnya kini sudah berubah menjadi hutan belukar. Sunan Bonang mengucapkan sesuatu, dan dalam sekejap musnahlah hutan itu, sehingga tampaklah sang Raden masih tetap disana. Yang terlihat hanya degup jantung didadanya. Ia ditinggalkan saja oleh Sunan Bonang selam satu tahun lagi. Raden Syahid bertapa selama dua tahun disana. Oleh sunan ia disuruh pergi dari situ dan dibekalinya dengan ilmu dan cara-cara berbakti kepada Allah SWT.
           Selanjutnya Sang Raden menjalankan tapa dengan mengasingkan diri di tempat sunyi satu tahun lamanya. Selesai menjalankan tapa itu Raden Syahid pergi ke arah Barat menuju Cirebon, disana ia bermukim di tempat yang sepi, dan selanjutnya ia disebut Kalijaga. Ia punya dua sahabat dan semakin kuat bertapa. Malam hari ia jaga di tepi sungai, kalau mengantuk ia terjun ke air menghanyutkan diri mengikuti arus, dengan memegangi api dari seludang kelapa kering. Berkat kekuatan tapanya, api yang terbenam di air tidak padam. Ia pun berhenti menghanyutkan dirinya. Rden Syahid kini menjadi sakti dan dikenal sebagai Kalijaga. Ketika berada di Cirebon ia menyamar dan bekerja sebagai Merbot, pekerjaannya ialah menimba dan menagambil air, mengisi bak air yang kosong. Setiap kali airnya habis, segera dipenuhinya lagi olehnya, sehingga orang menyangka ia benar-benar seorang merbot. Tersebutlah pada waktu itu Sunan dari Gunung Jati, yang memerintah yang dari Cirebon, memperhatikan cara Kimerbot mengambil air.
            Timbullah rasa belas kasihan dalam hati Sunan menyaksikan Merbotnya. Ketika malam tiba bak air itu dikeringkannya, lalu diisinya dengan mas. Pagi-pagi sekali Sunan Kalijaga bangun, segera pergi mengambil air. Seusai menimba tutup bak air itu dibukanya, dilihatnya bak itu penuh berisi mas. Sunan Kalijaga dapat menangkap maksudnya, dan cepat-cepat ia menjadikan mas itu sebagai alas bak air. Bak itu sudah penuh air ketika Sunan gunung Jati bergegas menjalankan Sholat Subuh ketika berwudhu dilihatnya alas bak air itu berupa mas, sehingga Sunan gunung Jati tidak ragu lagi bahwa ternyata Sunan Kalijaga telah menyamar sebagai Merbot. Ia kemudian menjadi ipar, dikawinkan dengan adik kandung Sunan Gunung Jati.
           Sewaktu masih usia muda, Raden Sahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga itu tergolong muda yang cerdas, terampil, pemberani dan berjiwa besar, usia mudanya tidak disia-siakan begitu saja, tetapi benar-benar dipergunakan untuk membesarkan dirinya meskipun tanpa bekal dari kedua orangtuanya. Beliau selalu berburu ilu kepada para sesepuh, seperti kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan bahkan dari timur terus lari kebarat berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah Cerebon. Ilmu-ilmu yang diambil dari Gurunya diantara lain ialah ilmu hakekat, ilmu Syariah, ilmu Kanuragan, ilmu filsafat, ilmu kesenian dan lain sebagainya. Sehingga beliau dikenal masyarakat pada saat itu sebagai seoarang ahli tauhid, yang mahir dalam ilmu syariat dan mampu menguasai ilmu srtategi perjuangan juga seorang Filosofi. Bahkan ahli pula dibidang sastra sehingga terkenal juga sebagai seorang pujangga, karena syair-ayairnya yang indah terutama syair-syair jawa.
           Lantaran ilmu-ilmu dan kemampuan pribadi yang dimiliki itu, akhirnya sunan kalijaga teramasuk salah satu seorang anggota kelompoK “WaliSanga” atau “Wali Sembilan” yang bergerak dibawah pengaturan kekuasaan Sultan Patah di Demak, belia ditugaskan oleh kelompok Wali Sanga ini untuk menggarap masyarakat didaerah-daerah pedalaman yang kondisinya yang sangat rawan, karena perilaku kehidupan mereka yang sangat tidak terpuji, misalnya didaerah yang sering terjadi pencurian dan pembunuhan, didaerah masyarakatnya suka berjudi, meminum minuman keras dan lain sebagainya. 

C.    Proses masuknya sunan kali jaga menjadi wali songo
            Menurut sumber naskah Sejarah yang manapun Sunan Kalijaga disebut sebagai salah satu Waliyullah yang terasuk dalam Walisanga. Kedudukannya sebagai seorang Wali, menurut Babad Majapahit dan para Wali, dikukuhkan dihadapan Sunan Giri yang dianggap sebagai ketua para Wali di Jawa. Dengan demikian, penetapan sebagai Wali itu sesuai dengan ramalan semula semenjak Sunan Bonang di utus oleh ayahnya, Sunan Ampel Denta untuk mencari dan mempertobatkan Sunan Kalijaga sebagai upaya mempercepat proses kearah kedudukannya sebagai wali.
          Sebagai Waliyullah, sebagaimana pengertian Waliyullah adalah” kekasih Allah”. Oleh karena itu, sebagaimana lazimnya para Wali, Sunan Kalijaga memiliki” Karamah” pemberian dari Allah berupa keunggulan lahir dan batin yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Disamping itu, sebagai tanda kewalian, ia bergelar” Sunan” sebagaimana Wali-wali yang lain. Menurut salah satu penafsiran, kata “Sunnat” yang berarti tingkah laku, Adat kebiasaan. Adapaun tingkah laku yang dimaksud adalah yang serba baik, sopan santun, budi luhur, hidup yang serba kebajikan menurut tuntunan Agama Islam. Oleh karena itu, seorang Sunan akan senantiasa menampilkan perilaku yang serba berkebajikan sesuai dengan tugas mereka berdakwah, Beramar Ma’ruf Nahi Munkar, memerintah atau mengajak kearah kebaikan dan melarang perbuatan Munkar.
            Peran Sunan kalijaga dalam berdakwah tampak dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan Agama secara langsung ataupun dalam pemerintahan dan kegiatan seni, budaya pada umumnya, diantara kasus kegiatan yang berkenaan dengan keagamaan, sebagaimana banyak disebut dalam naskah Babad, adalah kegiatan Sunan Kalijaga bersama-sama Wali yang lain mendirikan Masjid Agung Demak. Sudah jelas bahwa fungsi masjid disamping menjadi sarana Peribadatan juga dipakai sebagai pusat kegiatan Dakwah ketika itu sehingga perlu adanya, kendati pun sulit untuk menentukan secara pasti kapan masjid tersebut didirikan.
          Masjid Agung Demak yang terkenal, tidak saja karena ini dibangun oleh Wali, tetapi karena salah satu Saka gurunya terdiri dari serpihan kayu-kayu Tatal karya dari sunan Kalijaga yang dikenal dengan sebutan” Soko Tatal”. Keikutsertaan Sunan Kalijaga tidak hanya mengupayakan bahan-bahannya saja, tetapi juga ikut bermusyawarah sebelumnya.
          Dituturkan dalam salah satu sumber bahwa pembangunan Masjid Demak berjalan lancar, masing-masing Wali mendapatkan tugas membawa empat tiang besar, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan kalijaga, Sunan Kudus, Sunan purwaganda, Sunan Gunung Jati, Pangeran Palembang dan Syekh Siti Jenar. Hanya Sunan Kalijaga sendirilah yang membawa tiga buah. Jumlah semuanya 83 kurang 1, tatkala semuanya sudah siap dan waktu mendirikan asjid tinggal satu hari, sementara Saka Guru kurang satu, maka Sunan Bonang menanyakan kepada Sunan kalijaga akan tugasnya menyiapkan tiang Saka Guru itu. Sunan Kalijaga menyanggupinya, malam-malam menunggui orang mengapak kulit bagian luar, disusun, dilekatkan dengan lem Damar, Kemenyan, Blendok, Trembalok lantas dibalut. Jadilah sebuah tiang dari Tatal.
          Adanya Soko Tatal ini adalah suatu kesengajaan, sebagai lambang kerohanian, bahwa pembuatan Soko Tatal sebagai lambang kerukunan dan kesatuan. Konon sewaktu mendirikan Masjid Agung Demak masyarakat Islam ditimpa perpecahan antar Golongan, bahkan dalam bekerja mendirikan Masjid itu pun terjadi perselisihan-perselisihan berbagai masalah sepele dan kecil. Suna Kalijaga mendapat ilham, suatu petunjuk dari Tuhan dan disusunlah Tatal-tatal menjadi sebuah tiang yang kokoh.
          Kasus lain juga bersamaan para wali yang lain adalah upaya memberantas ajaran aqidah yang tidak benar ataupun sesat yakni, ajaran phanteisme yang disebarkan oleh salah seorang yang sebenarnya semula termasuk dalam kelompok Wali yaitu Syekh Siti Jenar. Dalam serat kandaning ringgit purwa maupun babad tanah jawi dituturkan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati dihadapan sidang pengadilan para wali, termasuk Sunan Kalijaga. Hukum itu dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar oleh karena pengakuannya bahwa dirinya adalah  Allah. Ajaran tentang ketuhanan yang bersifat phanteisme dipandang sangat membahayakan karena mengakibatkan masyarakat Islam ketika itu meninggalkan syara. Paham itu disebut juga paham Wahdatul wujud manunggaling kawula Gusti.
          Dengan kasus hukumam mati terhadap Syekh Siti Jenar tersebut, Sunan kalijaga bersama wali lainnya tidak kompromi dengan keyakinan yang memang sangat membahayakan, meskipun pendekatan yang dipakai para wali dalam berdakwah juga dengan menggunakan pendekatan sufistik, tetapi sufisme yang dianut oleh Kalijaga bukanlah sufisme yang beraliran phanteisme, tetapi sufisme yang tetap menganut Aqidah Ahlussunnah Waljamaah.
          Sebenarnya pandangan Sunan Kalijaga jika dibandingkan dengan pandangan Sunan Ampel maupun Sunan Giri terhadap tersisa-sisa keyakinan agama lama itu lebih toleran, dalam arti tidak mau memberantasnya seketika. Sunan Kalijaga berpendirian, bahwa rakyat akan lari begitu dihantam dan diserang oleh pendiriannya. Dakwah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat jangan terus diberantas, tetapi hendaknya dipelihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan. Adapun cara merubahnya adalah sedikit demi sedikit, memberi warna yang baru kepada yang lama, mengikuti sambil mempengaruhi yang nanti diharapkan bila rakyat telah mengerti dan paham akan agama akhirnya mereka akan membuang sendiri mana yang tidak perlu dan merombak atau menghilangkan sendiri mana yang tidak sesuai dengan agama. Para wali sebaiknya bertindak mengikuti dari belakang sambil mempengaruhi atau mengikuti kebudayaan lama sambil mengisi jiwa islam.
            Sikap seperti itu terlihat pada berbagai karyanya yang kalu dilihat dari kaca mata kebudayaan cenderung mengarah pada akulturasi antara kebudayaan lama dengan kebudayaan yang baru, hasil kreasinya kearah yang lebih islami. Sementara itu, kalau dilihat dari segi aqidah Sunan Kalijaga cenderung pada sinkretisme. Sebagai contoh pendirian seperti itu tampak salah satunya pada penciptaan lambang gambar bulus di Mihrab Masjid Agung Demak yang bisa dipandang sebagai hasil karyanya, sebagaimana ide pembuatan soko tatal. Bulus adalah binatang yang hidup di dua alam di daratan dan di air, dan menurut masyarakat Islam hukumnya haram, tetapi mengapa ditempatkan pada mihrab Masjid yang justru tempat suci bagi orang islam. Ternyata itu juga merupakan suatu bentuk kebijaksanaan berdakwah ketika itu dimana pemeluk agama lama diingatkan bahwa didalam Masjid juga ada suatu lambang kesucian dan keabadian, sebagaimana kepercayaan agama lama (budha) memandang bulus sebagai binatang suci. Hanya saja kesucian dan keabadian dalam islam diperoleh dengan cara melaksanakan shalat berbakti kepada Allah yang Maha Esa, biar hidup abadi di alam Baqa nanti dengan bahagia.Dalam media dakwah yang lain juga tampak sikap Sunan Kalijaga yang demikian itu, baik dalam penciptaan, seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan , termasuk juga kesenian wayang. Bahkan terhadap kesenian wayang ini Sunan Kalijaga dipandamg sebagai tokoh yang telah menghasilkan kreasi baru, yaitu dengan adanya wayang kulit dengan segala perangkan gamelannya. Wayang kulit ini merupakan pengembangan baru dari Wayang Beber yang memang sudah ada sejak Zaman Erlangga. Di antara Wayang ciptaan Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah Wayang punah kawan pandawa yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong

D.    Metode dakwah sunan kali jaga
            Cara-cara atau jalan yang ditepuh oleh Sunan Kalijaga khususnya dalam menyampaikan Ajaran Islam kepada rakyat ditanah Jawa Antara lain ialah:
·         Ajaran Agama Islam itu diperkenalkan kepada rakyat dengan cara menyampaikan    sedikiti demi sedikit agar mereka tidak kaget atau tidak menolak. Dihindarkan cara-   cara yang dapat menyinggung perasaan atau jiwa mereka yang sudah lama menganut kepercayaan-kepercayaan agama Hindu, Budha dan lainnya.
·         Apabila memungkinkan ajaran-ajaran Agama Islam itu dikawinkan dengan   kepercayaan Agama Hindu dan Budha, sehingga rakyat tidak terasa bahwa dirinya telah merubah kepercayaan lamanya atau dengan Ajaran agama Islam.
·         Adat-istiadat atau kebudayaan yang selama ini mereka hidupakan sesuai dengan ajaran Agama Hindu, Budha atau kepercayaan nenek moyang yang ditingalkan kepada    mereka, lalu oleh para Wali Sanga khususnya Sunan Kalijaga Adat-istiadat atau kebudayaan itu secara pelan-pelan diganti dengan bentuk upacara-upacara Tradisional yang berbau ajaran Islam. Jadi para Wali( Sunan kalijaga) tidak begitu saja memberantas adat Istiadat mereka dengan cara kasar yang dapat menimbulkan sikap Antipati terhadap ajaran Agama Islam. 

E.     Sikap masyarakat terhadap metode dakwah sunan kali jaga
            Sikap masyarakat terhadap Sunan Kalijaga ialah sangat baik dan sedikit demi sedikit mau menerima Ajaran Agama Islam, karena Sunan Kalijaga dalam Menyebarkan ajaran Agama Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan Rakyat yang masih Kental terpengaruh kepercayaan Agama Hindu-Budha itu maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan itu, sehingga taktik dan strategi dakwah perjuangan mengislamisasikan Nusantara itu disesuaikan pula dengan keadaan ruang dan waktu.
          Sunan Kalijaga dikenal sebagai Ulama besar dan seorang Wali yang memiliki kharisma tersendiri diantara Wali-wali lainnya dan paling terkenal dikalangan atas maupun dikalangan bawah, hal ini disebabkan karena Sunan Kalijaga berkeliling dalam berdakwah, sehingga beliau dikenal sebagai Syekh Malaya, yaitu Mubaligh yang menyiarkan Agama Islam sambil mengembara.
          Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak kepercayaan lama tidak ditentang Adat istiadatnya, beliau  mendekati rakyat yang masih Awam itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai Jubah sehingga masyarakat tidak merasa angker dan mau menerima dengan senang hati. Diantara anggota dewan Wali, Sunan Kalijaga merupakan Wali yang paling populer dimata masyarakat Jawa bahkan sebagian masyarakat Jawa menganggap sebagai Guru Agung dan Suci di Tanah Jawa.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar